Pengalaman sejati bermula ketika menerima gaji pertama.
Apa yang masih terpatri dalam benak Anda tentang gaji pertama?
Sejujurnya, saya sudah merasakan jerih payah mencari nafkah sendiri sejak masih menimba ilmu di sebuah universitas ternama di Yogyakarta. Tentu saja, ini di luar kiriman bulanan dari orang tua. Sebagai mahasiswa rantau, uang kiriman orang tua menjadi sandaran utama kala itu. Orang tua saya bukanlah dari kalangan berada, melainkan seorang PNS yang kehidupannya pun tidak berlebih. Namun, hebatnya, mereka tak pernah mengeluh soal keuangan dan selalu tepat waktu mengirimkan uang bulanan untuk anaknya di perantauan.
Sebagai anak yang menyadari kondisi orang tua, saya pun jarang mengeluh mengenai jumlah uang bulanan, meski teman-teman kos saya menerima lebih banyak. Saya juga tak pernah meminta tambahan uang saku, kecuali untuk membayar uang kos per enam bulan atau membeli buku kuliah yang sangat dibutuhkan. Selain itu, tidak ada.
Meskipun dikirim tepat waktu, bukan berarti keuangan selalu mencukupi. Taktik hidup hemat ala anak kos pun saya terapkan. Namun, untuk urusan finansial, saya mengakali dengan mencari penghasilan tambahan.
Penghasilan tambahan itu saya gunakan untuk “bersenang-senang” sederhana bersama teman-teman organisasi kampus atau teman kos, seperti piknik bersama. Untungnya, budaya nongkrong di kafe belum sepopuler sekarang. Kalaupun nongkrong, biasanya hanya di warung burjo (bubur kacang ijo) atau warung Intel (Indomie telur) di sekitar kampus. Jika ada rezeki lebih, barulah kami makan di tempat yang agak mahal. Itupun seringkali gratis karena ada teman yang cukup kaya dan merayakan ulang tahun atau sekadar ingin mentraktir.
Penghasilan tambahan itu salah satunya saya dapatkan dari menulis di kolom mahasiswa koran lokal. Sesekali, saya juga menulis resensi buku di media nasional. Saat itu, media massa masih berjaya dan menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat selain televisi dan radio. Media sosial sebagai alternatif pencarian informasi belum ada.
Uang yang saya peroleh dari tulisan-tulisan itu lumayan juga. Apalagi, kampus memiliki kebijakan memberikan uang tambahan jika ada publikasi mahasiswa di media lokal atau nasional. Jadi, sekali menulis, saya bisa mendapatkan tiga sumber penghasilan: dari media, fakultas, dan universitas. Sungguh menguntungkan!
Selain dari menulis, saya juga mendapatkan tambahan uang dari beasiswa dan berbagai acara kampus, mulai dari lomba hingga event yang membuka lowongan pekerjaan lepas bagi mahasiswa. Semua peluang menghasilkan uang saya manfaatkan.
***
Namun, semua itu belum saya anggap sebagai gaji pertama. Hingga pada tahun 2001, setelah lulus kuliah, saya mendapatkan pekerjaan pertama sebagai jurnalis di sebuah majalah keuangan perbankan di Jakarta.
Saya ingat betul, saat wawancara kerja, saya hanya meminta gaji satu juta rupiah. Pewawancara tentu senang mendengarnya karena *take home pay* yang mereka tawarkan lebih tinggi dari angka yang saya minta, meski hanya berbeda 50 ribu rupiah. Gaji pertama saya saat itu Rp 1.150.000 di Januari 2001. MasyaAllah. Padahal, UMR Jakarta saat itu hanya Rp 426.250.
Untuk apa gaji pertama ini? Jujur, saya sudah lupa detailnya. Yang pasti, gaji itu menjadi awal kemandirian dan tanggung jawab baru dalam pengelolaan keuangan.
Awal kemandirian karena saya tidak lagi menerima kiriman dari orang tua yang selama ini menjadi rutinitas bulanan. Sedangkan tanggung jawab baru karena saya harus memastikan gaji cukup untuk kebutuhan selama sebulan. Pengelolaan keuangan menjadi keharusan agar kehidupan finansial di tanah rantau tidak berantakan.
Gaji pertama itu, seingat saya, lebih banyak saya gunakan untuk bertahan hidup di Jakarta. Untuk membayar kos dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mungkin ada sedikit yang saya kirimkan ke kampung halaman dan sisanya saya tabung. Belum terpikirkan soal investasi karena pengetahuan saya tentang investasi masih sangat minim saat itu. Gaji pertama juga saya gunakan untuk membeli *handphone* yang layak karena teman-teman kantor sudah memiliki HP yang bagus untuk berkomunikasi.
Dari gaji pertama ini, mungkin saya belum bisa membeli barang-barang mewah seperti orang lain. Apalagi, saya memulai semuanya dari nol sebagai anak rantau baru di ibu kota.
Tetapi, ternyata gaji inilah yang menjadi gerbang pembuka perjalanan kehidupan selanjutnya. Misalnya, dari gaji pertama ini, saya membuka rekening tabungan kedua untuk memisahkan uang gaji untuk konsumsi/kos dengan uang tabungan. Saat itu, rekening kedua saya di bank syariah yang lokasinya dekat dengan kantor. Seiring berjalannya waktu, saya tidak hanya menabung, tetapi juga mulai belajar berinvestasi, mulai dari emas hingga reksadana saham.
Pada akhirnya, saya harus mengakui bahwa kenangan tentang gaji pertama bukan hanya soal nominalnya. Bukan pula tentang perasaan mencapai tujuan berkat kerja keras. Tetapi lebih kepada menghargai dan mengingat gaji pertama sebagai awal perjalanan panjang dan pembuka jalan bagi masa depan keuangan pribadi yang lebih baik.
Kalau gaji pertama Anda digunakan untuk apa?
Semoga bermanfaat.