Kabardermayu – menyajikan berita terpercaya dan akurat –, Jakarta – Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) mendesak pemerintah pusat untuk segera merumuskan landasan hukum yang kuat menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sekolah gratis, yang juga berlaku bagi sekolah dan madrasah swasta. Kehadiran payung hukum ini sangat krusial agar implementasi putusan MK tidak memicu berbagai permasalahan di lapangan.
Ketua Dewan Kehormatan Pengurus Besar PGSI, Soeparman Mardjoeki Nahali, berpendapat bahwa putusan MK menegaskan kembali amanat konstitusi, yaitu setiap anak bangsa Indonesia berhak memperoleh pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, termasuk di sekolah dan madrasah swasta.
“Walaupun MK memberikan masa transisi, informasi ini sudah tersebar luas di masyarakat. Bukan tidak mungkin masyarakat beranggapan bahwa sekolah swasta harus serta merta gratis. Situasi ini berpotensi memicu konflik horizontal antara pihak sekolah dan wali murid,” ungkap Soeparman dalam pernyataan persnya, Kamis, 23 Mei 2025.
Soeparman menekankan bahwa pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Agama (Kemenag), perlu segera merancang regulasi yang melindungi sekolah swasta dalam menjalankan mandat tersebut.
Sejalan dengan Soeparman, Ketua Umum PGSI, Mohammad Fatah, menyuarakan kekhawatiran yang muncul di lapangan. Ia mengungkapkan telah menerima banyak pertanyaan dari para orang tua murid mengenai biaya pendidikan setelah putusan MK, sementara belum ada petunjuk teknis yang diterbitkan oleh pemerintah.
“Kami masih merasa kebingungan dalam memberikan penjelasan. Informasi yang kami peroleh justru berasal dari diskusi antar guru di media sosial, bukan dari sumber resmi pemerintah,” keluh Fatah, yang juga merupakan pengelola SMP dan SMK swasta di Kabupaten Tegal.
Kebimbangan serupa juga dirasakan oleh Dede Permana, seorang guru di sekolah swasta di Cirebon. Ia khawatir jika beban pembiayaan sepenuhnya dilimpahkan kepada sekolah melalui skema bantuan operasional seperti BOS, maka sekolah swasta akan menghadapi kesulitan yang besar.
“Dana BOS yang ada saat ini saja belum mencukupi untuk menutup seluruh biaya operasional, apalagi jika harus menanggung gaji guru honorer yang belum mendapatkan tunjangan profesi,” jelasnya.
Ketua Dewan Pembina PGSI, MuhZen Adv, yang juga mengelola madrasah swasta di Pati, Jawa Tengah, menyebut putusan MK sebagai “teguran keras” bagi negara. Ia menyatakan bahwa selama ini negara memang telah memberikan berbagai bentuk bantuan, tetapi belum sepenuhnya memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya terhadap pendidikan dasar gratis.
“Ini adalah momentum bagi pemerintah untuk memenuhi amanat konstitusi secara penuh, bukan hanya setengah-setengah,” tegas MuhZen.
Pengurus Yayasan Pendidikan Islam di Demak, Ing Noor Salim, menambahkan bahwa agar pelaksanaan pendidikan dasar gratis di sekolah swasta dapat berjalan optimal, pemerintah juga harus meningkatkan alokasi anggaran satuan biaya per siswa dalam pembiayaan nasional.
Kepala Sekolah Dasar Islam Kreatif di Kabupaten Blitar, Diena Risna Dewi, serta pengelola madrasah swasta di Tulung Agung, Muhammad Luqman, juga mendesak pemerintah untuk segera memberikan kepastian hukum terkait putusan MK dan memastikan keberlangsungan sekolah swasta yang selama ini telah menjadi mitra strategis negara dalam bidang pendidikan.
Soeparman mengingatkan Panitia Kerja RUU Sisdiknas di Komisi X DPR RI untuk menyusun UU baru yang benar-benar menjamin hak-hak dasar warga negara atas pendidikan.
“Banyak pasal dalam UU Sisdiknas yang selama ini digugat di MK, membuktikan bahwa perumusan UU belum sepenuhnya berlandaskan pada konstitusi. Kita membutuhkan UU yang komprehensif,” pungkasnya.
Pilihan Editor: PDIP Memaparkan Bukti Kecurangan Pilkada di MK. Apa Peran ‘Partai Cokelat’?