Strategi Jitu: Peluang Bisnis Indonesia di Tengah Perang Tarif Global

PENELITI dari Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, menekankan bahwa kebijakan peningkatan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) memiliki implikasi signifikan bagi perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut Listya, eskalasi perang tarif ini bahkan memberikan dampak langsung pada stabilitas ekonomi Indonesia, yang sangat bergantung pada aktivitas ekspor.

“Ketika pemerintahan Trump memberlakukan kenaikan tarif atau Federal Reserve menyesuaikan suku bunga, dampaknya merambat hingga mempengaruhi nilai tukar mata uang, tingkat inflasi, dan arus modal di negara-negara berkembang—termasuk Indonesia,” jelas Listya dalam pernyataan tertulis yang diterima Tempo pada hari Selasa, 20 Mei 2025.

Listya menjelaskan lebih lanjut bahwa kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan AS terhadap sejumlah produk unggulan Indonesia memberikan tekanan yang cukup besar bagi sektor riil di dalam negeri. Industri-industri seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, alas kaki, serta furnitur, yang selama ini mengandalkan pasar AS, menghadapi penurunan permintaan yang substansial, gangguan pada rantai pasokan, dan penurunan kapasitas produksi secara keseluruhan.

“Beberapa perusahaan bahkan terpaksa mengambil langkah-langkah efisiensi tenaga kerja dan menunda rencana ekspansi,” ungkap dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta ini.

Di sektor moneter, lanjutnya, ketidakpastian global yang dipicu oleh perang tarif dan kebijakan ekonomi unilateral AS telah mendorong depresiasi nilai tukar rupiah hingga mencapai level Rp16.795 per dolar AS. Situasi ini meningkatkan biaya impor bahan baku untuk industri dan turut berkontribusi pada peningkatan inflasi.

Pasar modal Indonesia juga tidak luput dari gejolak. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam akibat aksi jual yang dilakukan oleh investor asing dan melemahnya sentimen terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Neraca perdagangan, yang sebelumnya menunjukkan surplus, mulai terpengaruh oleh penurunan ekspor dan meningkatnya tekanan terhadap defisit transaksi berjalan.

Namun demikian, menurut Listya, krisis ini juga membuka peluang strategis bagi Indonesia. Dalam situasi perubahan tatanan global, negara yang mampu dengan cepat mengidentifikasi arah perubahan dan beradaptasi akan muncul lebih kuat dari ketidakpastian. Indonesia dapat mengambil beberapa langkah kunci sebagai berikut:

• Melakukan diversifikasi pasar ekspor dengan memperluas penetrasi ke pasar-pasar non-tradisional seperti India, Afrika, Timur Tengah, dan negara-negara Asia Selatan. Hal ini dapat diwujudkan melalui perjanjian dagang bilateral, promosi ekspor berbasis digital, dan diplomasi ekonomi yang lebih proaktif.

• Mempercepat substitusi impor dan transformasi industri melalui penguatan sektor manufaktur bernilai tambah, adopsi teknologi canggih, dan integrasi industri hulu-hilir di dalam negeri. Ketergantungan pada bahan baku dan komponen impor harus dikurangi secara sistematis.

• Berperan aktif dalam kerja sama moneter dan keuangan regional, seperti penguatan Local Currency Transaction (LCT), interkoneksi sistem pembayaran lintas negara seperti QRIS antarnegara ASEAN, serta partisipasi aktif dalam forum-forum moneter regional seperti Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) dan ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO).

• Mengembangkan sistem pembayaran dan keuangan yang lebih mandiri dan efisien, termasuk pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) oleh Bank Indonesia, serta peningkatan literasi keuangan dan perluasan akses digital untuk UMKM.

Listya berpendapat bahwa dengan memanfaatkan peluang yang muncul dari krisis dan merespons disrupsi global secara strategis, Indonesia tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi regional yang lebih resilien, inklusif, dan berdaulat.

Menurutnya, momentum ini harus dimanfaatkan sebagai titik awal untuk mendefinisikan ulang arah pembangunan nasional: dari ekonomi yang reaktif terhadap krisis global, menjadi ekonomi yang proaktif membangun daya tahan dan daya saing jangka panjang.

“Kita harus melihat perubahan ini bukan hanya sebagai ancaman, tetapi sebagai momen bersejarah untuk membentuk kembali strategi nasional—yang lebih berorientasi pada kemandirian ekonomi, kerja sama regional, dan posisi yang lebih strategis dalam tatanan dunia multipolar yang sedang terbentuk,” tegasnya.

Pilihan Editor: Peneliti UII Soroti Fenomena Ekonomi Global Pasca Tarif Impor Trump

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *