BI Diprediksi Tahan Suku Bunga Tinggi Hingga 2026: Rupiah Terancam?

JAKARTA, KOMPAS.com – Keputusan terbaru dari bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, untuk kembali mempertahankan suku bunga acuannya dalam pertemuan FOMC Mei 2025, diperkirakan akan semakin mempersempit ruang gerak Bank Indonesia (BI) dalam melakukan penyesuaian suku bunga acuan di dalam negeri.

Bacaan Lainnya

Fithra Faisal Hastiadi, Senior Chief Economist dari Samuel Sekuritas Indonesia, memprediksi bahwa BI akan cenderung mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,75 persen untuk beberapa waktu ke depan.

Bahkan, Fithra menambahkan, jika sinyal dari The Fed tidak menunjukkan urgensi untuk melakukan pelonggaran moneter dan risiko inflasi terus meningkat akibat tarif global dan tekanan pada nilai tukar, BI berpotensi mempertahankan suku bunga acuannya hingga awal tahun 2026.

“Bagi Indonesia, kebijakan The Fed ini secara efektif membatasi fleksibilitas dalam pengambilan kebijakan,” ungkapnya dalam laporan yang dikutip pada Minggu (11/5/2025).

Baca juga: Bank Sentral AS Tahan Suku Bunga, Kebijakan Trump Dinilai Beri Tekanan Ekonomi

Fithra menjelaskan lebih lanjut bahwa, meskipun keputusan The Fed terkesan dovish, dampaknya tidak serta merta memberikan keuntungan signifikan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Meskipun suku bunga AS yang stabil dapat meredam volatilitas di pasar keuangan dalam jangka pendek, hal ini juga mengindikasikan penurunan prospek penurunan suku bunga dalam waktu dekat. Akibatnya, BI memiliki ruang yang semakin terbatas untuk melonggarkan kebijakan moneternya.

Selain itu, kombinasi suku bunga AS yang tetap tinggi dan ketidakpastian geopolitik yang masih membayangi sentimen investor, berpotensi memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah dan memicu arus modal asing keluar dari pasar Indonesia.

“Terutama jika The Fed mengambil sikap yang lebih agresif sebagai respons terhadap inflasi yang berkelanjutan,” imbuhnya.

Baca juga: Waspadai Dampak Tarif Trump, The Fed Kembali Pertahankan Suku Bunga Acuan

Situasi ini menempatkan BI dalam dilema yang kompleks, di antara kebutuhan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi.

Pertimbangan ini semakin penting mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal I 2025 menjadi 4,87 persen, yang merupakan angka terendah sejak tahun 2021.

Namun, dengan kebijakan AS yang tetap ketat dan pelemahan nilai tukar yuan terhadap mata uang regional, BI akan menghadapi risiko depresiasi rupiah lebih lanjut dan inflasi impor jika menurunkan suku bunga. Terutama mengingat potensi kenaikan biaya logistik akibat efek tarif.

“Setiap pemotongan suku bunga yang dilakukan terlalu dini dapat memicu arus modal keluar dan semakin memperlemah nilai tukar rupiah, yang saat ini sudah menghadapi tekanan depresiasi akibat sentimen penghindaran risiko global,” jelasnya.

Baca juga: China Pangkas Suku Bunga, Upaya Stimulus Hadapi Dampak Perang Dagang

Fithra memperkirakan bahwa beban kebijakan akan beralih ke langkah-langkah fiskal.

Pemerintah diharapkan dapat mempercepat implementasi program bantuan sosial dan belanja modal pada paruh kedua tahun ini untuk mengatasi pertumbuhan ekonomi Kuartal I yang lemah dan meningkatkan permintaan domestik.

“Namun, mengingat risiko eksekusi yang masih ada, terutama di tengah transisi politik dan potensi kekurangan pendapatan, kami memperkirakan adanya potensi penurunan pada proyeksi pertumbuhan PDB kami sebesar 4,8 persen pada tahun 2025,” pungkasnya.

Baca juga: The Fed Tahan Bunga, Harga Bitcoin Bakal Tembus 100.000 Dollar AS?

Sebelumnya, The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini.

Dengan keputusan ini, suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) tetap berada pada kisaran 4,25-4,5 persen, yang telah berlaku sejak Desember 2024.

Mengutip laporan dari CNBC, keputusan ini diambil oleh The Fed sambil menunggu kejelasan mengenai kebijakan tarif perdagangan pemerintah AS dan dampaknya terhadap perekonomian AS yang saat ini menunjukkan tanda-tanda perlambatan.

The Fed mewaspadai potensi peningkatan angka pengangguran dan inflasi sebagai akibat dari tekanan yang timbul akibat kebijakan tarif perdagangan yang akan diterapkan AS terhadap berbagai negara.

Baca juga: The Fed Tahan Suku Bunga Acuan, Harga Emas Dunia Turun Hampir 2 Persen

Pos terkait