Uli Parulian Sihombing, Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM, menyampaikan hasil investigasi timnya mengenai insiden ledakan saat pemusnahan amunisi di Garut, Jawa Barat.
Tragisnya, peristiwa ini mengakibatkan 13 nyawa melayang. Empat di antaranya adalah prajurit TNI Angkatan Darat, sementara sembilan korban lainnya adalah warga sipil.
Lantas, apa saja poin-poin penting yang terungkap dari temuan Komnas HAM?
21 Warga Sipil Berstatus Pekerja Lepas
Menurut Uli, proses pemusnahan amunisi yang dijalankan oleh Puspalad (Pusat Peralatan Angkatan Darat) TNI AD melibatkan partisipasi 21 warga sipil. Mereka, kata Uli, direkrut sebagai tenaga harian lepas.
Di sisi lain, prosedur standar pemusnahan amunisi seharusnya melibatkan setidaknya satu pleton prajurit TNI AD, yang terdiri dari 30 hingga 50 personel.
“Dalam proses pemusnahan amunisi yang standar, lazimnya melibatkan minimal 1 pleton prajurit TNI-AD, berjumlah antara 30 hingga 50 prajurit. Selain itu, didirikan tenda-tenda sebagai tempat istirahat prajurit, penyimpanan amunisi yang akan dimusnahkan, serta fasilitas pendukung lainnya, termasuk dapur umum,” urai Uli saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (23/5).
“Kegiatan pemusnahan amunisi oleh Puspalad TNI AD ini juga melibatkan 21 warga sipil yang kami temukan dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas. Jadi, 21 orang ini terlibat langsung dalam proses pemusnahan amunisi yang sudah melewati masa pakainya,” imbuhnya.
Upah Rp 150 Ribu per Hari Tanpa Perlengkapan Keselamatan
Uli mengungkapkan bahwa ke-21 pekerja tersebut menerima upah harian sebesar Rp 150 ribu. Lebih jauh lagi, tidak ada pelatihan khusus yang diberikan oleh pihak TNI, sehingga mereka belajar secara otodidak.
Padahal, pedoman PBB hanya membolehkan keterlibatan pihak sipil dalam aktivitas penanganan atau pemusnahan amunisi jika mereka memiliki keahlian atau kompetensi yang relevan.
Ironisnya, para pekerja sipil ini juga tidak dilengkapi dengan peralatan khusus atau alat pelindung diri yang memadai dalam melaksanakan tugasnya.
“Pada tanggal 12 Mei 2025, sebanyak 21 orang dipekerjakan untuk membantu proses pemusnahan amunisi yang sudah tidak terpakai milik TNI dengan upah harian rata-rata Rp 150 ribu. Para pekerja ini belajar secara otodidak selama bertahun-tahun, tanpa melalui pendidikan atau pelatihan formal,” jelasnya.
Sempat Terjadi Perdebatan Sebelum Ledakan
Uli menceritakan bahwa sebelum ledakan terjadi, sempat terjadi perdebatan antara Komandan Gudang Pusat Amunisi (Gupusmu) dengan koordinator pekerja bernama Rustiawan. Rustiawan diketahui telah berpengalaman selama 10 tahun dalam proses pemusnahan amunisi, baik bersama TNI maupun Polri.
Perdebatan tersebut berfokus pada penanganan detonator sisa. Prosedur standar biasanya melibatkan penenggelaman detonator sisa ke dasar laut untuk mempercepat proses disfungsi. Namun, pada hari itu diputuskan untuk menimbunnya menggunakan campuran pupuk urea.
“Kemudian, sebelum ledakan, sempat terjadi perdebatan singkat antara Komandan Gupusmu dengan koordinator pekerja, almarhum Rustiawan, mengenai cara menangani detonator sisa tersebut. Biasanya, detonator sisa ditenggelamkan ke dasar laut untuk mempercepat proses disfungsi, namun pada hari itu diputuskan untuk menimbunnya dengan campuran urea, yang dimaksudkan sebagai pupuk,” terang Uli.
Drum Berisi Amunisi Tiba-Tiba Meledak
Ketika proses pemusnahan berlangsung, yaitu saat drum berisi amunisi dimasukkan ke dalam lubang, drum tersebut tiba-tiba meledak. Ledakan tersebut mengenai orang-orang yang berada di dalam lubang dan di sekitarnya.
“Jadi, amunisi dimasukkan ke dalam drum terlebih dahulu, kemudian drum dimasukkan ke dalam lubang. Beberapa orang berada di dalam lubang, sementara sisanya berada di sekitar lubang dan bertugas mengangkut material detonator. Namun, pada saat itu, drum yang berisi detonator tersebut tiba-tiba meledak,” kata Uli.
Warga Berinisiatif Mengumpulkan Sisa Amunisi
Setelah proses pemusnahan selesai, Komnas HAM menemukan fakta bahwa warga sekitar sering berkumpul untuk mengumpulkan sisa-sisa amunisi. Bahkan, beberapa warga membawa pulang peti bekas amunisi ke rumah mereka.
“Setelah proses pemusnahan atau peledakan amunisi selesai, ditemukan fakta bahwa warga berkumpul untuk mengambil sisa-sisa ledakan amunisi tersebut. Biasanya, sekitar 50 orang berkumpul di sekitar lokasi untuk memungut sisa-sisa pemusnahan amunisi. Warga juga sering membawa pulang peti amunisi ke rumah masing-masing untuk berbagai keperluan,” tambahnya.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak TNI terkait temuan Komnas HAM ini. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal TNI Kristomei Sianturi belum memberikan respons saat dihubungi untuk dimintai tanggapan mengenai temuan ini.